Opini Hukum Dari Visum ke Putusan Hakim: Menyatukan Pasal 54, 56, dan 183 KUHAP dalam Prinsip Fair Trial

banner 120x600
banner 468x60

Oleh: Bayu Purnomo Saputra
(Mahasiswa Magister Ilmu Hukum & Praktisi Hukum)

“Hak Membela Diri: Pondasi dari Pasal 54 dan 56 KUHAP”
KUHAP memberi jaminan awal lewat Pasal 54: setiap tersangka/terdakwa berhak mendapat bantuan hukum. Pasal 56 mempertegas kewajiban negara menyediakan penasihat hukum dalam perkara berat atau bagi yang tidak mampu.

Namun, hak ini bukan sekadar formalitas. Bantuan hukum hanya bermakna jika penasihat hukum diberi akses penuh pada dokumen perkara, termasuk Visum Et Repertum (VER). Jika advokat tidak bisa membaca, menguji, atau men-challenge visum, maka hak bantuan hukum hanya tinggal slogan kosong.

“Pasal 183 KUHAP: Standar Pembuktian yang Butuh Transparansi”
Pasal 183 KUHAP menegaskan asas minimum pembuktian: hakim hanya boleh memidana jika ada sekurang-kurangnya dua alat bukti sah, ditambah keyakinannya.

Di sinilah posisi VER sering menimbulkan masalah. Praktiknya, banyak perkara pidana hanya bertumpu pada VER ditambah satu alat bukti lain yang tipis, lalu dijadikan dasar vonis. Padahal, VER seharusnya diuji keabsahannya: “siapa yang membuat, kapan dibuat, metode pemeriksaannya, dan apakah konsisten dengan fakta lain”.

Tanpa akses penasihat hukum terhadap VER, asas Pasal 183 jadi pincang. Hakim mungkin menganggap “dua alat bukti sah” terpenuhi, tetapi terdakwa tidak pernah diberi ruang adil untuk men-challenge bukti itu.

“Prinsip Fair Trial: Jembatan KUHAP, Konstitusi, dan ICCPR”
Hak membela diri (Pasal 54, 56) dan standar pembuktian (Pasal 183) sejatinya terikat oleh prinsip fair trial:
– Pasal 28D ayat (1) UUD 1945: kepastian hukum yang adil.

– ICCPR (UU No. 12 Tahun 2005): Pasal 14 menegaskan hak terdakwa untuk mendapat informasi, menyiapkan pembelaan, dan menguji bukti yang diajukan terhadapnya.

Menolak memberikan VER kepada penasihat hukum bukan hanya melanggar KUHAP, tetapi juga melanggar konstitusi dan komitmen internasional Indonesia.

“Yurisprudensi yang Menguatkan”
– MK No. 16/PUU-VIII/2010: hak atas bantuan hukum adalah hak konstitusional yang wajib dijamin negara.

– MK No. 22/PUU-XII/2014: kesetaraan posisi antara terdakwa dan penuntut umum adalah bagian dari fair trial.

– MA No. 1234 K/Pid/2012: setiap alat bukti harus diuji terbuka di persidangan; terdakwa berhak menilai validitasnya.

Yurisprudensi ini menegaskan bahwa hak membela diri, akses bukti, dan standar pembuktian tidak bisa dipisahkan.

“Rekomendasi Reformasi”

1. Revisi KUHAP “mengatur eksplisit hak penasihat hukum memperoleh VER sejak penyidikan”.

2. SOP aparat penegak hukum “kepolisian dan kejaksaan wajib menyerahkan salinan VER kepada penasihat hukum”.

3. Kontrol hakim praperadilan “memberi mekanisme koreksi jika akses VER ditolak”.

4. Pendidikan hukum aparat “menanamkan bahwa VER bukan bukti mutlak, melainkan bukti komplementer yang harus diuji”.

Pasal 54 dan 56 KUHAP memberi hak membela diri. Pasal 183 KUHAP memberi standar pembuktian. UUD 1945 dan ICCPR memberi jaminan fair trial. Semua itu akan runtuh jika Visum Et Repertum hanya dikuasai negara dan ditutup dari penasihat hukum terdakwa.

Keadilan sejati lahir bukan dari kertas visum, tetapi dari ruang sidang yang terbuka, setara, dan menghormati hak asasi manusia. Hak membela diri tidak boleh dikorbankan, dan standar dua alat bukti tidak boleh dipermainkan.

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *